BeritaTapanuli.com – Siapa yang tak kenal Anton Medan. Awalnya sosok yang terkenal di era Orde Baru.
Sebelum insaf dan menjadi mualaf, nama Anton Medan erat kaitannya dengan dunia kriminal.
Bahkan, sosoknya sempat dikenal sebagai preman kelas kakap yang paling ditakuti di era Presiden Soeharto.
Dikabarkan Anton Medan meninggal di kediamannya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada 15 Maret 2021.
Dikutip dari Wikipedia, Anton Medan lahir dengan nama Tan Hok Liang dan kemudian bernama Muhammad Ramdhan Efendi.
Anton Medan lahir di Kota Tebingtinggi, Sumatera Utara, 10 Oktober 1957. Sebelum hijrah, ia dikenal sebagai mantan perampok dan bandar judi yang kini telah insaf.
Anton Medan menjadi Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sejak 2012. Ia memeluk agama Islam sejak 1992.
Ia mendirikan rumah ibadah yang diberi nama Masjid Jami’ Tan Hok Liang. Masjid itu terletak di areal Pondok Pesantren At-Ta’ibin, Pondok Rajeg, Cibinong.
Banyak tuduhan-tuduhan yang diarahkan padanya seputar keterlibatannya dalam kerusuhan Mei 1998. Dia juga pernah masuk penjara sewaktu masih menjadi perampok dan bandar judi.
Sebelum masuk Islam, Anton dibesarkan di tengah-tengah politik gelap Indonesia. Itu selama pemerintahan Orde Baru Suharto ketika preman digunakan dalam politik, bisnis dan instansi pemerintah.
Pada tahun 1998, Anton Medan dijadikan kambing hitam untuk orkestrasi Kerusuhan Jakarta setelah tuduhan itu diam-diam dicabut.
Kerusuhan yang awalnya merupakan demonstrasi mahasiswa untuk memprotes presiden Indonesia Soeharto berubah menjadi demonstrasi anti-Tionghoa di ibu kota Jakarta.
Anton Medan keturunan Tionghoa, tapi dia turun ke jalan dan ikut kerusuhan untuk membuktikan bahwa dia setia kepada rakyat tapi dia sendiri yang jadi sasaran.
Dalam kekacauan politik tahun 1998, dilaporkan pula bahwa Prabowo Subianto, menantu Suharto dan Panglima Kopassus, telah merekrut dan memanipulasi Anton Medan untuk mendapatkan pendukung militan.
Dalam penyidikan kasus kerusuhan 1998, Anton Medan membantah tuduhan terlibat aktif di balik layar, meski mengaku berada di tengah-tengah massa.
Namun, dia menolak untuk bersaksi kecuali Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merehabilitasi namanya terlebih dahulu. (*)