BeritaTapanuli.com, Sibolga – Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Sumatera, Parlaungan Silalahi, SH, mengecam keras penangkapan terhadap seorang warga bernama Poltak Samosir, yang kini ditetapkan sebagai tersangka usai membeli 70 liter BBM Pertalite dari SPBU Taman Bunga, Sibolga.
Parlaungan menilai kasus ini sangat janggal dan sarat dengan intrik penegakan hukum yang tidak adil, karena Poltak diketahui masih memiliki barcode izin pengambilan BBM dari Dinas Kelautan, meski masa berlakunya telah habis.
“Saya merasa miris melihat kasus ini. Barcode izin memang kadaluarsa, tapi SPBU tetap menjual 70 liter BBM kepada tersangka dan menerima pembayaran sesuai harga resmi. Kalau begitu, seharusnya petugas SPBU juga diperiksa, bukan hanya menumbalkan rakyat kecil,” tegas Parlaungan, Kamis (12/6/2025).
Ia menilai, penahanan Poltak justru menghancurkan kehidupan keluarganya yang menggantungkan hidup dari jualan kecil-kecilan dan penjualan BBM eceran di kampung.
“Coba bayangkan, kalau dijual dengan keuntungan Rp2.000 per liter, total keuntungan hanya Rp140.000. Apakah itu pantas dianggap kejahatan serius? Jangan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas!,” ujarnya lantang.
Parlaungan menyebut praktik penegakan hukum semacam ini berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, khususnya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sibolga.
“Kalau memang melanggar, cukup ditegur atau diarahkan. Jangan langsung diproses pidana sampai ditahan. Kita bukan sedang menangani koruptor, penipu, atau pembunuh. Ini soal ekonomi bertahan hidup!” tambahnya.
Sementara itu, istri Poltak, Bunga Minor Sormin, menceritakan dampak berat yang mereka alami sejak penangkapan suaminya. Warung kecil yang mereka kelola kini tutup, kendaraan operasional ikut disita, dan modal usaha habis.
“Kami beli BBM itu dari SPBU, bukan dari pasar gelap. Kami jual di kampung agar warga tidak perlu jauh-jauh ke kota. Tapi sekarang, suami saya ditahan, motor disita, dan kami kehilangan penghasilan,” ucapnya sedih.
Lebih memilukan, putri mereka yang baru lulus SMA terpaksa menunda impian mendaftar ke TNI AL karena tidak bisa mengurus SKCD dan tidak punya biaya transportasi.
“Saya mohon keadilan. Suami saya bukan penjahat. Dia hanya ingin menghidupi kami. Jangan kami yang sudah susah, malah makin disusahkan,” ujarnya sambil menahan air mata. (TP)