Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan penjelasan secara komprehensif terkait mekanisme produksi obat perkembangan uji klinis vaksin virus corona (covid-19).
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Slamet menyampaikan secara garis besar proses produksi obat yang diawali dengan upaya penemuan bahan atau zat potensial obat melalui berbagai proses penelitian.
“Kedua, Bahan, atau zat, atau senyawa potensial obat tersebut harus melewati berbagai proses pengujian diantaranya adalah uji aktivitas zat, uji toxisitas in vitro dan in vivo pada tahap pra klinik, serta Uji Klinik untuk fase I, fase II dan fase III,” kata Slamet melalui keterangan resmi, Selasa (4/8/2020).
Setelah melalui dua tahapan tersebut, obat akan mendapatkan izin edar dan diproduksi melalui cara pembuatan obat yang baik (GMP) dan dilakukan kontrol pada proses pemasaran.
“Banyak lembaga internasional dan nasional sedang bekerja keras untuk mendapatkan obat ataupun vaksin Covid 19. Sebagian kandidat vaksin juga sudah memasuki tahap uji klinik tahap akhir,” kata Slamet.
Namun, diakui Slamet, hingga saat ini belum ada satu negara atau lembaga manapun di dunia yang sudah menemukan obat atau vaksin secara spesifik bisa menanggulangi Covid-19.
“Saat ini beberapa negara termasuk Indonesia tergabung dalam Solidarity Trial WHO, untuk mendapatkan bukti klinis yang lebih kuat dan valid terhadap efektivitas dan keamanan terbaik dalam perawatan pasien Covid-19,” jelas Slamet.
Adapun terkait perkembangan pembuatan vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac dari Tiongkok saat ini akan dilakukan uji klinik fase 3 di site penelitian Fakulatas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).
“Sesuai dengan standar internasional juga peraturan Badan POM untuk registrasi obat/vaksin, maka protokol penelitian ini harus mendapatkan persetujuan etik dari site penelitian yang akan dituju, dalam hal ini Unpad,” katanya.
Komisi Etik Unpad, menurut Slamet, telah melakukan telah protokol penelitian fase 3 vaksin tersebut. Unpad bahkan telah mengumumkan persetujuan etik terhadap uji klinik ini.
Artinya, data-data yang mendasari dilakukan uji klinik fase 3 dapat diterima secara ilmiah, risiko terhadap subjek dapat diminimalisasi dan manfaat diperkirakan dapat diperoleh.
“Komisi Etik Universitas Padjajaran berkewajiban melakukan monitoring pelaksanaan penelitian,” jelasnya.
“Kepada seluruh pihak, khususnya tokoh publik, kami harap dapat memberikan pencerahan tentang Covid-19 kepada masyarakat dan bukan sebaliknya menimbulkan pro-kontra,” pungkas Slamet. (*)