Berita Tapanuli – Setelah lulus menjadi sarjana dan mulai bekerja, itu adalah serangkaian momen yang menunjukkan dan membuktikan apakah selama lebih dari 16 tahun itu hanya menjalani proses “bersekolah” atau mengalami “pendidikan.”
Setelah lulus menjadi sarjana dan bekerja, mulai tampak apakah seseorang mampu berpikir runut atau tidak, mampu merencanakan pekerjaannya atau tidak, mampu berinisiatif atau tidak, bahkan… mampu bertanya atau tidak. Juga apakah ia mampu bekerjasama atau tidak; apakah saat bekerjasama ia cenderung mengurangi perannya atau malah dominan; apakah ia mampu menjadi komplemen dari sejawat kerjanya atau tidak. Dan juga apakah ia mampu menghadapi konflik atau tidak; apakah ia tahu kapan harus “menghindar,” kapan mesti “berkompromi,” kapan “berkolaborasi,” dan kapan “berkompetisi.”
Setelah lulus dan menjadi sarjana, tugas-tugas dari kantor dan bisnisnya akan membuktikan dan memamerkan secara gamblang apakah ia memiliki “disiplin diri,” atau tidak. Apakah ia memiliki pola hidup yang teratur atau tidak sehingga metoda kerjanya pun teratur dan efektif. Apakah ia mampu memberikan kualitas kerja yang relatif sama.
Dan… akhirnya, apakah ia punya tujuan hidup ataukah ia sekadar menggelinding saja seperti roda lepas dari tanjakan.
Ya, tugas-tugas dan pekerjaan di kantor memaksa semua sarjana untuk menunjukkan kepribadian aslinya, sifat-sifat dan kebiasaan hidupnya. Dan… boleh jadi 16 tahun itu adalah kesia-siaan karena hanya mengejar skor-skor kosong. Semua medali emas dan sertifikat yang terpajang di dinding kamarnya dan angka-angka tinggi di rapornya tidak sanggup menolongnya ketika ia mesti mencapai target-target yang ditentukan perusahaan dan ketika ia mesti bekerjasama dengan atasan yang memberi standar tinggi. Ia termangu memandangi medali dan rapornya yang kini hanya bisa teronggok di lemari kamarnya.
Dan…orangtua yang selama 16 tahun ini bangga dengan angka-angka dan medali yang diraih anaknya hanya bisa termangu-mangu. Mungkin, mereka berharap waktu dapat diputar balik dan memilih untuk mengajarkan anaknya untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, bersikap konsisten ketika anaknya tantrum, dan selalu bersepakat dengan istri/suaminya. Mereka akan memilih untuk menghabiskan waktu untuk mendongeng daripada membolehkan anak menonton Youtube. Dan memilih memasukkan anaknya ke Leadership Camp daripada membelikannya mainan-mainan mahal dan game console. Atau mereka memilih berani melawan sistem sekolah yang hanya membuat semua anak menjadi rata-rata, misalnya dengan memasukkan anak-anaknya ke “sekolah rumah.” Mereka memilih untuk membangun karakter daripada mengejar skor akademik.
#Schooling #Education #Homeschool #CharacterBuilding #SelfDiscipline #Creativity #Initiative #ConflictManagement #lifeskills #cornerstonelifeguide #homeschooling (dikutip dari group FB Dono Baswardono)